Pengusaha
tambang nasional mengklaim larangan ekspor mineral mentah untungkan tambang
asing.
Pengusaha
tambang terus melancarkan tekanan agar pemerintah dan DPR memberi kelonggaran
terkait aturan yang melarang ekspor mineral mentah seperti diatur dalam UU
Minerba.
Larangan itu
akan berlaku mulai 12 Januari tahun 2014 dan diklaim akan 'mematikan' usaha
tambang kecil menengah yang umumnya dimiliki oleh pengusaha lokal.
UU Minerba
yang disahkan tahun 2009 mengamanatkan pelaku usaha tambang mineral agar
membangun lokasi pemrosesan hasil tambang sehingga ekspor tambang dilakukan
dalam bentuk mineral yang sudah diolah hingga 99%.
Pelaku usaha
menilai aturan ini terlalu berat disandang oleh industri lokal pemegang Ijin
Usaha Pertambangan (IUP).
"Untuk
IUP ini jelas berat karena 'kan rata-rata baru mulai usaha dalam 7-8 tahun
terakhir," kata Poltak Sitanggang, Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral
Indonesia (APEMINDO).
Sebaliknya
menurut APEMINDO aturan itu mestinya dipertegas diberlakukan untuk perusahaan
pemegang Kontrak Karya (KK), yang sudah beroperasi selama puluhan tahun di
Indonesia.
"Bayangkan
sudah 40 tahun, maka tidak ada alasan kalau mereka bilang tidak cukup waktu
untuk mempersiapkan smelter (pabrik tempat memproses pemurnian
mineral)," tambahnya.
Pemegang KK
rata-rata adalah perusahaan asing maupun pemilik konsesi tambang mineral yang
relatif besar di Indonesia.
Berlakunya
pelarangan ini, menurut klaim pengusaha, akan merugikan negara hingga miliaran
dolar dan memperdalam jurang defisit neraca perdagangan sehingga akan memukul
nilai rupiah yang sedang lemah.
'Jangan lembek'
UU Minerba
menyatakan dalam lima tahun sejak disahkan, aturan pelarangan ekspor mineral
mentah harus berlaku agar sumber daya alam Indonesia tak habis dijual dengan
harga murah karena tak diolah lebih dulu.
"Pengusaha-pengusaha
ini sudah lama memeras kekayaan alam kita, rakyat tidak dapat apa-apa. Ini
tidak adil. Makanya kita maunya keras soal Minerba ini."
Totok
Daryanto
Keengganan
pengusaha memenuhi aturan ini menurut anggota Komisi VII DPR yang membawahi
bidang energi dan pertambangan, Totok Daryanto, menunjukkan bahwa pengusaha
menganggap aturan mudah dibelokkan.
"Ada
semacam keyakinan bahwa larangan itu bisa diatur lah, dengan tekanan bisa. Maka
pemerintah jangan lembek" kata Totok kesal.
Upaya
pejabat pemerintah, termasuk Menteri Energi Sumber Daya Mineral dan menko
Perekonomian Hatta Rajasa, yang meminta parlemen menyetujui pemberian
kelonggaran atau relaksasi terhadap larangan ini ditolak Komisi VII.
Dalam
pertemuan resmi terakhir awal Desember lalu, Komisi VII minta agar pemerintah
konsisten menjalankan aturan tersebut dan memberlakukan pelarangan sebagaimana
berlaku.
"Pengusaha
hendaknya mau memahami karena kita ingin kekayaan alam ini tidak dijual habis
dengan harga murah. Apa manfaatnya untuk rakyat kita?" seru Totok.
"Pengusaha-pengusaha
ini sudah lama memeras kekayaan alam kita, rakyat tidak dapat apa-apa. Ini
tidak adil. Makanya kita maunya keras soal Minerba ini."
Sedikitnya
belasan perusahaan sudah menyatakan akan memulai proses pembangunan smelter
mulai tahun ini hingga tiga tahun ke depan, namun jika larangan tetap berlaku
keran ekspor mineral mentah akan menurunkan secara drastis produksi mereka.
Sejumlah
perusahaan tambang multinasional menyampaikan kepada pemerintah mereka bersedia
membangun smelter di Indonesia, dengan syarat aturan ini diberlakukan
dengan tegas.
Menurut
neraca perdagangan sepanjang Januari-Oktober lalu, hasil tambang masih
menempati ceruk besar perolehan devisa dari ekspor.
Namun hasil
tersebut sebagian besar didapat dari penjualan batubara, gas alam, dan minyak
mentah. Sementara untuk mineral tambang lain seperti nikel, tembaga, dan
bauksit nilai ekspornyanya diperkirakan hanya sekitar US$500 juta dalam
sebulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar