Polisi akan
menyelidiki insiden pemblokiran bandara NTT (ilustrasi).
Langkah
bupati di Ngada, Nusa Tenggara Timur untuk memblokir bandara merupakan pelanggaran
undang-undang penerbangan dan menghadapi sanksi pidana.
Insiden yang
baru pertama kali di Indonesia itu terjadi pada Sabtu (22/12) ketika sejumlah
anggota Satuan Polisi Pamong Praja memarkir mobil di landasan pacu Bandara
Turelelo Soa, atas perintah Bupati Ngada Marianus Sae yang marah karena tidak
mendapat tiket pesawat.
Kepala Biro
Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh, mengatakan "Bupati
melanggar UU penerbangan dan ini ada sanksi pidananya, penegak hukum silakan
bertindak."
"Yang
kedua ada undang-undang pelayanan konsumen, yang dirugikan silakan untuk
melakukan gugatan, yang ketiga dimensi UU pemerintahan daerah ada DPRD yang
bisa melakukan pengawasan, jadi DPRD bisa memanggil kepala daerah untuk
melakukan hak interpelasi," tambahnya.
Kapolri
Jenderal Sutarman juga telah memerintahkan penyelidikan insiden ini, kata
kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Ronny Sompie.
"Kapolri
sudah memerintahkan kepada anak buahnya di NTT, dalam hal ini Kapolda NTT
Brigjen Ketut Untung Yoga Ana agar melakukan penyelidikan penuh terhadap
kejadian itu," kata Sompie.
Anggota
Satpol PP yang memblokir bandara diselidiki sebagai tersangka, kata Yoga Ana
melalui pesan tertulis.
Insiden ini
mempermalukan wajah penerbangan Indonesia, kata pengamat penerbangan Chappy
Hakim.
Chappy
mengatakan pemblokiran juga bisa berakibat fatal jika pesawat tidak punya cukup
bahan bakar.
"Kebetulan
saja pesawat [Merpati] itu fuel-nya cukup jadi dia bisa kembali kalau fuel
tidak cukup berarti dia berhadapan dengan bahaya yang besar atas keselamatan
penumpang dan kru," kata Chappy.
Mantan
Kepala Staf Angkatan Udara TNI AU ini juga mengatakan bahwa pemblokiran bandara
melanggar Undang-Undang Penerbangan dan hukumannya cukup berat.
"Ini
kejadian pertama di Indonesia dan pemerintah harus mengambil tindakan
tegas," ujarnya.
Keamanan penerbangan
"Jika
tak mengambil tindakan sesuai UU, kita makin dianggap tidak mampu mematuhi
peraturan internasional"
Chappy
Hakim, pengamat penerbangan
Chappy
meminta pemerintah tegas mengambil tindakan karena aksi ini melanggar Pasal 421
UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan pelaku terancam pidana 3 tahun
serta denda Rp1 miliar.
"Ini
sangat menyedihkan, Indonesia sejak 2007 sampai sekarang berada dalam kategori
2 penilaian Federal Aviation Administration yang merefer pada ICAO
[International Civil Aviation Organization] yang berarti indonesia sejak 2007
tidak comply [patuh] dengan peraturan keselamatan penerbangan
internasional," ujarnya.
Menurutnya,
ketidakmampuan otoritas Indonesia mematuhi peraturan ICAO menempatkan negeri
ini dengan negara-negara kecil di Benua Afrika, yang juga berada di kategori 2.
Pada 2007,
ICAO menemukan 120 temuan yang menunjukkan Indonesia tidak memenuhi syarat
keselamatan penerbangan, kata Chappy.
"Akhirnya
pada 2009, kita berhasil menggolkan UU yang merupakan upaya keras otoritas
penerbangan nasional untuk memenuhi persyaratan eh, sudah dilanggar,"
ujarnya.
"Dan
jika kita tak mengambil tindakan sesuai UU, kita makin terpuruk dan kita makin
dianggap tidak mampu mematuhi peraturan internasional," tambahnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar